Aku masih ingat jelas malam itu. Jumat, awal September 2024.
Udara Bojonegoro terasa lebih dingin dari biasanya — dan entah kenapa, dari awal aku sudah punya firasat aneh.

Aku adalah sopir ambulans. Sudah biasa mengantarkan jenazah ke berbagai daerah, dari kota sampai pelosok. Tapi malam itu berbeda.
Jenazah yang kuantar bukan jenazah biasa — tapi seseorang yang belakangan kuketahui pernah terlibat dalam pesugihan “Gondo Mayit”.

Awalnya, semua berjalan normal. Dari rumah sakit, aku hanya membawa satu jenazah. Di belakang, ikut satu orang — seorang pria paruh baya, katanya tetangga sekaligus keluarga almarhum.
Kami sempat berdoa bersama sebelum berangkat. Aku nyalakan mesin, dan ambulans mulai melaju menembus gelapnya malam.

Sekitar empat puluh menit perjalanan, kami mulai memasuki hutan Gondang — perbatasan Bojonegoro dan Nganjuk.
Jalanan sempit, kanan kiri pohon besar menjulang tinggi, dan hanya lampu depan mobil yang jadi penerang.
Saat itulah, sesuatu mulai terasa aneh.

“Aduh, Mas… mual aku… bau apa ini?” suara bapak di belakang bergetar.
Aku sempat pikir, mungkin karena jenazah baru saja dimandikan, jadi masih ada sisa bau formalin. Tapi makin lama… baunya makin menyengat.
Busuknya luar biasa — seperti bangkai busuk yang sudah lama terkubur. Aku pun mulai mual.

Tiba-tiba bapak di belakang menjerit, “Mas! Mas! Tangan jenazahnya lepas!”
Aku kaget, spontan menginjak rem. Ambulans berhenti mendadak di tengah gelap hutan.

Kuambil senter, turun dari mobil.
Dan di sanalah aku mulai mendengar suara itu — lirih, seperti tangisan dari kejauhan.
Aku berhenti sejenak, menatap sekeliling. Tak ada siapa-siapa. Hanya pepohonan, angin, dan suara burung malam yang terdengar… tapi nadanya aneh. Seperti bukan suara hewan biasa.

Ketika kubuka pintu belakang ambulans, benar saja — tangan jenazah itu terlepas dari ikatannya.
Kain kafan basah, ada cairan kuning menetes di bawahnya.
Aku mencoba menahan mual, berusaha mengikat ulang dengan tangan gemetar. Bapak di sampingku hanya membaca istighfar berulang kali.

Saat aku membungkuk, suara tangisan itu semakin jelas.
Tangisan laki-laki, seperti orang yang menyesal…
Seketika bulu kudukku berdiri.

Aku cepat-cepat menutup pintu, lalu berkata lirih, “Kalau ada yang ikut… jangan ikut kami. Kami cuma ingin mengantar dengan tenang.”
Entah kenapa, setelah itu suara tangisan berhenti.

Perjalanan kami lanjutkan. Tapi suasana di dalam mobil benar-benar berat.
Bau itu tak hilang, malah semakin pekat. Bapak di sebelahku hanya diam, wajahnya pucat pasi.

Baru ketika hampir sampai, dia bercerita dengan suara pelan.
Katanya, jenazah itu semasa hidup adalah kontraktor kaya yang jatuh miskin, lalu menempuh jalan pesugihan “Gondo Mayit”.
Sejak itu, keluarganya satu per satu meninggal misterius — istrinya, anak laki-lakinya, hingga akhirnya dirinya sendiri.

Bapak itu bilang, pesugihan itu disebut “Gondo Mayit” — “bau mayat” — karena pemiliknya akan membawa aroma busuk seperti kematian ke mana pun pergi.

Aku hanya terdiam. Rasanya ingin cepat sampai dan menyerahkan jenazah itu.
Tapi perjalanan malam itu seolah tak mau berakhir.

Ketika akhirnya selesai dan aku pulang sendirian… mobilku tiba-tiba oleng.
Rasanya seperti ban kempes. Aku berhenti di pinggir jalan, turun, dan memeriksa. Tapi… bannya utuh. Tak ada yang rusak.
Lalu dari arah belakang ambulans… suara itu muncul lagi.
Tangisan lirih, kali ini lebih dekat.

Aku menatap kaca spion. Kosong. Tapi udara di sekelilingku jadi berat, seperti ada yang berdiri di samping mobil.

Aku gemetar, menatap ke langit gelap dan berbisik:

“Kalau kamu masih di sini, pulanglah. Tempatmu bukan bersamaku.”

Beberapa detik kemudian, angin berhembus kencang.
Suara itu hilang.
Dan malam kembali sunyi.

Sejak hari itu, aku tak pernah lagi melewati hutan Gondang sendirian.
Tapi setiap kali mencium bau busuk tiba-tiba di malam Jumat…
aku tahu, mungkin ada sesuatu yang sedang lewat.
Sesuatu yang dulu pernah menumpang di ambulansku.